Senin, 26 November 2012

PEMICU MELONJAKNYA HARGA DAGING


Kenaikan harga daging sapi yang terjadi saat ini sebagai dampak dari ketidakseimbangan antara kuota produksi dan tingginya permintaan masyarakat terhadap daging sapi. Berdasarkan pantauan harga di daerah-daerah pasar sentra konsumsi daging sapi,khususnya di sejumlah pasar tradisional Jabodetabek, pada minggu ke tiga  Nopember 2012 harga daging bergerak naik di kisaran Rp.98.000 - Rp.105.000 per kg lebih tinggi dari kondisi normal semula pada akhir bulan Oktober 2012 antara Rp.65.000 - Rp.75.000 per kg.

Data Direktorat Jenderal Pertenakan, Kementerian Pertanian, menyebutkan produksi daging sapi di beberapa propinsi sentra penghasil daging sapi, kecendrungannya mengalami kenaikan setiap tahun. Tercatat Propinsi Jawa Timur pada 2011 produksi daging sebesar 112.447 ton dan mengalami kenaikan pada 2012 sebesar 2,05% (114.749 ton), dan di Propinsi Jawa Barat pada tahun yang sama sebesar 78.476 ton mengalami kenaikan pada tahun 2012 sebesar 7,20% (84.128 ton), sedangkan di Propinsi Jawa Tengah di tahun 2011 sebesar 60.322 ton naik sebesar 3,55% (62.462 ton) di tahun 2012.
Dari total produksi daging sapi menurut propinsi di Indonesia secara keseluruhan tercatat untuk tahun 2011 sebesar 485.333 ton dan di tahun 2012 tercatat sebesar 505.447 ton dengan pertumbuhan kenaikan produksi daging sapi sebesar 4,15%. Secara agregat, produksi daging sapi di beberapa propinsi masih akan terus mengalami  peningkatan produksi.
Sedangkan untuk ketersediaan bagi propinsi sentra konsumsi daging sapi di Indonesia, berdasarkan data urutan dari jumlah permintaan yang tinggi, yaitu Propinsi Jawa Barat pada tahun 2010 permintaan untuk konsumsi daging sapi sebesar 344.267 ton, dan terbesar ke dua adalah Propinsi Jawa Timur sebesar 222.682 ton, selanjutnya Propinsi Jawa Tengah pada urutan ke tiga dengan jumlah permintaan sebesar 146.458 ton. Sedangkan Propinsi DKI Jakarta dan Bali serta Sumatera Utara jumlah permintaan untuk komsumsi rata-rata sebesar 80.000 ton.
Berdasarkan tipikal demikian, perilaku lonjakan kenaikan harga daging sapi dapat dilihat pada industri hulu dan hilir. Indikator yang dapat digunakan adalah struktur produksi daging nasional, pengiriman ternak dari sentra produksi ke sentra konsumsi dan jumlah pemotongan sapi pada Rumah Potong Hewan (RPH).
Arus Sapi dari Sentra ke Konsumen
Sentra sapi potong di Indonesia meliputi  Kawasam Timur Indonesia, yaitu Bali, NTB, NTT, dan Sulawesi. Sapi dari daerah tersebut dipasarkan ke daerah konsumsi di Pulau Jawa, terutama DKI Jakarta dan Jawa Barat. Pintu masuk utama ke Jawa melalui pelabuhan yang ada di Jawa Timur.
Selanjutnya dari Jawa Timur diteruskan sampai ke DKI Jakarta dan Jawa Barat. Tiga jenis ternak yang banyak dimasukan adalah sapi, kerbau dan kuda, perkembangannya dari waktu ke waktu terus mengalami penurunan. Gambaran tersebut mengindikasikan bahwa kemampuan sentra produksi di Kawasan Timur Indonesia sudah berkurang dikarenakan makin langkanya sapi di kawasan tersebut. Akibatnya,  harga sapi  lebih mahal dan tidak mampu bersaing dengan sapi yang berasal dari Jawa. Apalagi jika dibandingkan dengan sapi impor yang diusahakan feedlot di Jawa dan Lampung.
Di tambah lagi dengan sejumlah hambatan distribusi/transportasi sapi terjadi dari sentra produksi ke konsumen, baik menyangkut persoalan transportasi kapal antarpulau maupun transportasi darat ikut memicu kenaikan harga daging sapi. Konsekuensinya, Indonesia harus melakukan impor. Impor daging sapi awalnya hanya untuk memenuhi segmen pasar tertentu, namun kini telah memasuki segmen supermarket dan pasar tradisional.
Peningkatan impor dipacu juga oleh adanya tuntutan konsumen terhadap kualitas daging, harga bersaing, serta adanya kesepakatan General Agreement on Tariffs and Trade  (GATT), pasar dalam negeri harus terbuka  bagi produk impor, termasuk produk daging sapi. Berdasarkan kuota kebutuhan daging sapi nasional pada tahun 2012, diperkirakan sebesar 484.060 ton, terdiri dari 399.320 ton daging lokal dan sisanya sebesar 84.740 ton (17,5%) daging impor. 
Pusat Informasi Harga
Permintaan daging sapi terus naik seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, peningkatan daya beli, dan faktor musiman menyambut hari besar keagamaan nasional. Untuk itu peningkatan efisiensi ekonomi dalam kegiatan pengadaan daging sapi merupakan keharusan agar dapat bersaing dengan produk impor. Tanpa upaya yang sistematis tidak mungkin dapat menahan desakan produk impor. Akibatnya, turunnya kesejahteraan peternak yang 90 persen merupakan peternakan rakyat, yang selama ini menawarkan sekitar 99 persen kebutuhan domestik daging sapi.
Agar mengetahui perkembangan harga, peternak  butuh pusat informasi harga ternak dan daging sapi yang akurat dan dapat diakses oleh setiap peternak. Melalui info tersebut,  peternak dan pedagang dapat dengan cepat mengetahui kenaikan harga. Pusat informasi tersebut dapat berada di pasar hewan dan rumah potong hewan, tempat transaksi ternak dan daging sapi.
Dalam upaya meningkatkan produksi daging sapi, pemerintah sebaiknya memanfaatkan potensi usaha penggemukan, dengan bantuan modal atau sistem perkreditan yang dapat diakses dan tidak memberatkan peternak.
Untuk mendukung program pembangunan sapi potong di Indonesia, diperlukan upaya pengadaan sapi bakalan lokal berkualitas dari pihak pengusaha industri peternakan rakyat. Namun usaha ini diperkirakan belum memberikan keuntungan yang layak, sehingga belum ada kalangan usaha yang bergerak pada usaha ini. Salah satu upaya pengadaan sapi bakalan lokal ini melalui paket program sapi potong kombinasi antara program penggemukkan dan pembibitan, yang kini sedang dikembangkan pada beberapa daerah. Bagaimanapun, pencapaian swasembada daging sapi tetap jadi prioritas pemerintah sambil terus membangkitkan minat bisnis budidaya sapi dan pasar hewan alternatif kepada kaum pebisnis lokal.
Kepala Bidang Ketahanan Pangan dan PDT, Deputi Bidang Perekonomian     
Sumber : http://setkab.go.id     

0 komentar:

Posting Komentar