Kenaikan harga daging sapi yang terjadi saat ini sebagai dampak dari
ketidakseimbangan antara kuota produksi dan tingginya permintaan
masyarakat terhadap daging sapi. Berdasarkan pantauan harga di
daerah-daerah pasar sentra konsumsi daging sapi,khususnya di sejumlah
pasar tradisional Jabodetabek, pada minggu ke tiga Nopember 2012 harga
daging bergerak naik di kisaran Rp.98.000 - Rp.105.000 per kg lebih
tinggi dari kondisi normal semula pada akhir bulan Oktober 2012 antara
Rp.65.000 - Rp.75.000 per kg.
Data Direktorat Jenderal
Pertenakan, Kementerian Pertanian, menyebutkan produksi daging sapi di
beberapa propinsi sentra penghasil daging sapi, kecendrungannya
mengalami kenaikan setiap tahun. Tercatat Propinsi Jawa Timur pada 2011
produksi daging sebesar 112.447 ton dan mengalami kenaikan pada 2012
sebesar 2,05% (114.749 ton), dan di Propinsi Jawa Barat pada tahun yang
sama sebesar 78.476 ton mengalami kenaikan pada tahun 2012 sebesar 7,20%
(84.128 ton), sedangkan di Propinsi Jawa Tengah di tahun 2011 sebesar
60.322 ton naik sebesar 3,55% (62.462 ton) di tahun 2012.
Dari
total produksi daging sapi menurut propinsi di Indonesia secara
keseluruhan tercatat untuk tahun 2011 sebesar 485.333 ton dan di tahun
2012 tercatat sebesar 505.447 ton dengan pertumbuhan kenaikan produksi
daging sapi sebesar 4,15%. Secara agregat, produksi daging sapi di
beberapa propinsi masih akan terus mengalami peningkatan produksi.
Sedangkan
untuk ketersediaan bagi propinsi sentra konsumsi daging sapi di
Indonesia, berdasarkan data urutan dari jumlah permintaan yang tinggi,
yaitu Propinsi Jawa Barat pada tahun 2010 permintaan untuk konsumsi
daging sapi sebesar 344.267 ton, dan terbesar ke dua adalah Propinsi
Jawa Timur sebesar 222.682 ton, selanjutnya Propinsi Jawa Tengah pada
urutan ke tiga dengan jumlah permintaan sebesar 146.458 ton. Sedangkan
Propinsi DKI Jakarta dan Bali serta Sumatera Utara jumlah permintaan
untuk komsumsi rata-rata sebesar 80.000 ton.
Berdasarkan tipikal
demikian, perilaku lonjakan kenaikan harga daging sapi dapat dilihat
pada industri hulu dan hilir. Indikator yang dapat digunakan adalah
struktur produksi daging nasional, pengiriman ternak dari sentra
produksi ke sentra konsumsi dan jumlah pemotongan sapi pada Rumah Potong
Hewan (RPH).
Arus Sapi dari Sentra ke Konsumen
Sentra
sapi potong di Indonesia meliputi Kawasam Timur Indonesia, yaitu Bali,
NTB, NTT, dan Sulawesi. Sapi dari daerah tersebut dipasarkan ke daerah
konsumsi di Pulau Jawa, terutama DKI Jakarta dan Jawa Barat. Pintu masuk
utama ke Jawa melalui pelabuhan yang ada di Jawa Timur.
Selanjutnya
dari Jawa Timur diteruskan sampai ke DKI Jakarta dan Jawa Barat. Tiga
jenis ternak yang banyak dimasukan adalah sapi, kerbau dan kuda,
perkembangannya dari waktu ke waktu terus mengalami penurunan. Gambaran
tersebut mengindikasikan bahwa kemampuan sentra produksi di Kawasan
Timur Indonesia sudah berkurang dikarenakan makin langkanya sapi di
kawasan tersebut. Akibatnya, harga sapi lebih mahal dan tidak mampu
bersaing dengan sapi yang berasal dari Jawa. Apalagi jika dibandingkan
dengan sapi impor yang diusahakan feedlot di Jawa dan Lampung.
Di
tambah lagi dengan sejumlah hambatan distribusi/transportasi sapi
terjadi dari sentra produksi ke konsumen, baik menyangkut persoalan
transportasi kapal antarpulau maupun transportasi darat ikut memicu
kenaikan harga daging sapi. Konsekuensinya, Indonesia harus melakukan
impor. Impor daging sapi awalnya hanya untuk memenuhi segmen pasar
tertentu, namun kini telah memasuki segmen supermarket dan pasar
tradisional.
Peningkatan impor dipacu juga oleh adanya tuntutan konsumen terhadap kualitas daging, harga bersaing, serta adanya kesepakatan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT),
pasar dalam negeri harus terbuka bagi produk impor, termasuk produk
daging sapi. Berdasarkan kuota kebutuhan daging sapi nasional pada tahun
2012, diperkirakan sebesar 484.060 ton, terdiri dari 399.320 ton daging
lokal dan sisanya sebesar 84.740 ton (17,5%) daging impor.
Pusat Informasi Harga
Permintaan
daging sapi terus naik seiring dengan pertambahan jumlah penduduk,
peningkatan daya beli, dan faktor musiman menyambut hari besar keagamaan
nasional. Untuk itu peningkatan efisiensi ekonomi dalam kegiatan
pengadaan daging sapi merupakan keharusan agar dapat bersaing dengan
produk impor. Tanpa upaya yang sistematis tidak mungkin dapat menahan
desakan produk impor. Akibatnya, turunnya kesejahteraan peternak yang 90
persen merupakan peternakan rakyat, yang selama ini menawarkan sekitar
99 persen kebutuhan domestik daging sapi.
Agar mengetahui
perkembangan harga, peternak butuh pusat informasi harga ternak dan
daging sapi yang akurat dan dapat diakses oleh setiap peternak. Melalui
info tersebut, peternak dan pedagang dapat dengan cepat mengetahui
kenaikan harga. Pusat informasi tersebut dapat berada di pasar hewan dan
rumah potong hewan, tempat transaksi ternak dan daging sapi.
Dalam
upaya meningkatkan produksi daging sapi, pemerintah sebaiknya
memanfaatkan potensi usaha penggemukan, dengan bantuan modal atau sistem
perkreditan yang dapat diakses dan tidak memberatkan peternak.
Untuk
mendukung program pembangunan sapi potong di Indonesia, diperlukan
upaya pengadaan sapi bakalan lokal berkualitas dari pihak pengusaha
industri peternakan rakyat. Namun usaha ini diperkirakan belum
memberikan keuntungan yang layak, sehingga belum ada kalangan usaha yang
bergerak pada usaha ini. Salah satu upaya pengadaan sapi bakalan lokal
ini melalui paket program sapi potong kombinasi antara program
penggemukkan dan pembibitan, yang kini sedang dikembangkan pada beberapa
daerah. Bagaimanapun, pencapaian swasembada daging sapi tetap jadi
prioritas pemerintah sambil terus membangkitkan minat bisnis budidaya
sapi dan pasar hewan alternatif kepada kaum pebisnis lokal.
Kepala Bidang Ketahanan Pangan dan PDT, Deputi Bidang Perekonomian
Sumber : http://setkab.go.id
Senin, 26 November 2012
PEMICU MELONJAKNYA HARGA DAGING
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar